Kamis, 04 Desember 2008

Jeda Cinta

Dentingan gitar yang dimainkannya tidak berlagu. Merambah tiap kunci tanpa membingkai suatu racikan melodi yang populer di telingaku. Dan terasa lebih sakit di hatiku, dalam keheningan di antara dia dan aku. Matanya kosong, mimiknya dingin dan keruh seperti air empang di musim hujan. Aku harap memecah bisu ini, tapi tak kuasa menguntai kata yang tepat untuk mengurai amarah yang tersirat di wajahnya. Aku duduk di lantai, bersandar pada sofa, tempat kita biasa bermesra di kala asmara masih membara. Tapi saat ini dia di sebelah sana, di kursi lain, memainkan nada menutup hati untukku. 

Walau tak pasti akan apa gerangan yang menyulut amarahnya, aku terbiasa, maksudku, terpaksa biasa, menyusun kepingan pikirannya yang selalu kubilang seperti puzzle. Aku rasa, dia tahu. Tahu tentang my red letter on the chest. Seperti dalam novel Scarlett Letter, aku telah menorehkan huruf A untuk adultery di dadaku. Aku telah menolehkan cintaku pada pria lain, bukan kusengaja, dan ini bukan pembenaran. Hanya ketidaksengajaan yang lugu, please jangan bilang aku jahat. Tak terukur pedihnya guilty feeling ini yang menyeruak di tengah perasaan cinta yang telah kadung tumbuh tidak pada tempatnya.

"Danu, please, ngomong dong, ada apa,"aku tak tahan untuk tidak membuka percakapan yang mungkin juga menjadi prakata pertengkaran. Tidak akan ada jawaban untuk kali pertama, aku sudah tahu, perlu kesabaran lebih untuk melepaskan gembok dari bibirnya. 
"Danu....!"
"Untuk apa kamu menemuiku lagi?" akhirnya keluar juga kata dari sang melankolik.
"Maksudmu?" 
"Pergi saja temui dia"
Tirai sudah dibuka, jadi dia sudah tahu. Dudukku mulai menciut, seperti para selebritis yang mengkerut di kursi pesakitan di pengadilan. Tinggal menunggu palu diketok. 

Aku dan Danu, dipertemukan oleh nasib. Waktu itu, aku berada di tengah keterpurukan keluarga. Banyak cerita sedih dalam hidupku, kejadian buruk serasa tak bosan singgah di teras rumahku. Porak porandanya keluarga membuatku kehilangan pegangan dan Danu pun datang. Kehadirannya bagaikan shelter bus di kala hujan deras mengguyur, dan satu satunya pilihan untuk sang pejalan kaki adalah menunggu di situ. Aku sebentuk pribadi rapuh yang meniti jati diri sendiri pun belum kelar. Meminjam istilah tukang kue, aku itu kue bantat. Tapi Danu menerima si kue bantat ini. Sebenarnya sungguh menyentuh hati kan, dan memang aku mengakui, banyak nilai kebaikan dalam dirinya. Di luar kenyataan jika dia sangat minim dalam verbal. 

Setahun, dua tahun, aku masih yakin aku cinta walau kata romantis tak pernah meninabobokan aku lewat telepon - telepon mesra seperti layaknya teman- temanku dengan cerita cintanya. Aku masih bisa menerima kenyataan dan menghayati peran seperti penyiar radio, yang banyak bercerita, tertawa, tapi hanya satu arah. Waktu pacaran kita lebih banyak dihabiskan di rumah, dan jangan bayangkan makan malam romantis dengan Danu berperan sebagai kokinya. Dengan setangkai mawar dan lantunan lagu Buble. Itu cuma mimpi masa abg-ku, yang sepertinya tidak akan kesampaian.    

Aku tidak mengelak dengan kekuranganku, mungkin benar yang Danu bilang. Tidak semua pria akan mudah menerima karakterku yang rapuh. Dulu, aku begitu takut kehilangan Danu, tak bisa hidup tanpanya. Aku bingung tanpa hadirnya. Tapi kini yang aku tahu, cinta bukan sekedar penerimaan. Cinta bisa jatuh begitu saja, tanpa mesti ada hitungan, penerimaan ataupun pengorbanan. Ada satu kalimat dari cerpenis yang aku kagumi, dalam salah satu cerpennya dia menulis, mencintai dengan alasan karena tak sanggup sendiri adalah salah. Oooooh, menyesal kenapa dia baru menuliskan itu sekarang, semestinya dari dulu aku tahu. 

"Jadi, apa maumu sekarang?" Aku berusaha mempersingkat episode ini, bukan karena tak tahan dengan pertengkaran, tapi karena aku terlalu takut untuk mengungkap rahasia gelapku. Menguaknya sama saja dengan meniup luka, di hatiku dan di hati Danu. 
"Kamu tega, mengkhianati kepercayaanku, Luwi," Danu meradang, "Siapa dia, kapan kalian bertemu, apa yang hebat dari dia dibanding aku???" suaranya meninggi dalam nada yang basah oleh air mata yang tak meleleh di mata.

Ingin kusudahi saja semua, tanpa banyak cerita yang menoreh lebih dalam dengan pisau khianatku. Pertunangan ini, percintaan ini, tak bisa berakhir begitu saja. Ibunya, pengidap sakit jantung, yang sudah 2 kali mengalami jatuh bangun serangan stroke. Haruskah ini menjadi serangannya yang ketiga? Calon menantu yang tak tahu diri !! Aku mengutuk pun tak guna. Beginikah realita cinta pada akhirnya? Sekelumit kisah yang berbuntut komitmen dan tanggung jawab? Sebutlah aku kekanak- kanakan, tapi cinta ini berkata begitu. Cintaku kujual tidak untuk kutukar dengan hal hebat. Hanya setitik kata yang sejukkan jiwa kerontang mampu menepis semua kebaikan hati Danu dan kepastian pertunangan ini.  Aku jahaaaaaat. Aku pengkhianaaaaat. Tapi aku cinta dan aku rela . Rela dihujat, kekasih yang tidak setia.

Ini jeda cinta, aku terbang mengambang, poised, camar yang berhenti mengepak, hanya melayang, mengikuti angin. Danu, aku tetap sayang kamu walau aku tega menyakiti kamu. Aku memang lupa, menutup pagar hatiku. Mungkin ini hanya cinta sesaat, cinta baru yang menggebu yang siapa bilang tak akan berujung di jenuh juga. Tapi ini my second lucky shot, and I wish it would be my jackpot. 

**
***

Ini cerpen published pertamaku. Silakan dibantaaaaaaiiiiii .... ^_^ ....semoga bisa dinikmati

~ the fallen angel ~

2 komentar:

hanni mengatakan...

alo, dem
ga nyangka loh lo nulis cerpen
bertaun2 sobatan.
bagus kok, sekelas deh ma di buku2 dan majalah2.
top markotop.

nijananda mengatakan...

idung gw terbang neh ... honey ...ekekekek aciiiiieh ^_^