Kamis, 04 Desember 2008

Sexual in Metro

Setelan Armani, Gucci, berbaris rapi di dalam lemari bergaris art deco yang menghiasi walking closetnya. Dasinya, bergulung indah, dalam susunan gradasi warna yang entah mesti berapa lama bagi yang tak biasa untuk menyusunnya begitu rupa. Rak sepatunya, yang lebih bersih daripada lemari pakaian ibunya di desa dulu, menampilkan koleksi sepatu yang hampir tidak bisa mungkir bahwa si empunya adalah shoe fettish. Dari Nike Free, Fendi's , A classic men's Italian leather loafer, Sergio Rosi's sampai Prada shoes, you name it.

Melangkah keluar dari walking closet, tiba pemandangan pada sebidang kamar, yang memang luas, benar- benar seperti sebidang tanah yang cukup untuk ditanami padi yang menghidupi satu keluarga. Entah mengapa banyak lukisan ukiyo karya Tsukioka Yoshitoshi yang mengumbar brutalisme dan gambaran tentang mahluk- mahluk aneh ala kabuki. Mungkin aktor- aktor kabuki yang berbedak tebal, merepresentasikan imaji tentang diri. Dan kebrutalan sebagai sentuhan kegagahan yang terkesan ekstrim. Di atas ranjang pohon ek yang penuh wibawa, tertelungkup sepunggung otot telanjang hasil sculpting, bulking, cutting dan toning. Kontra dari resiknya kamar, beberapa koper LV tergeletak begitu saja di lantai, seperti enggan berdiri sendiri.

Vino, sang lelaki yang telungkup, adalah eksekutif sukses di usianya yang masih belia. Sepertinya ia tidur, tapi tidak, matanya hanya memicing. Kelelahan, itu sudah jelas, hanya saja pikirannya yang kusut menolak untuk beristirahat. Pria asal Ngawi itu, walau lidahnya sudah tak kental lagi dalam lagam jawa, baru saja kembali dari kunjungan singkatnya ke rumah ibunya tercinta.

"Aku tidak bisa, Bu!" nada Vino naik namun tertahan oleh rasa hormat yang selalu dia emban dalam hati untuk orang tuanya.
"Ibu cuma ingin kamu menunaikan apa yang sudah jadi kodrat manusia, dan ini juga demi kebahagiaanmu di hari depan, nak. Menikahlah dengan Kenes, dia sudah seperti anakku sendiri, ibu hafal tingkah polahnya dan ibu yakin dia cocok untuk mengayom dirimu, menyayangmu", selalu dengan ketegasannya yang berjubah kelembutan ibu berucap demikian.

_Oh, Ibu ... aku percaya semua hal baik yang ibu katakan tentang keluarga, pernikahan dan juga tentang Kenes. Dan bukan aku menyanggah itu semua dalam keberatanku akan perjodohan yang tak disangka ini. Jodoh, apalah jodoh itu, aku sungguh tak mengerti. Apakah dulu aku berjodoh pula dengan kebrutalan hidup di metropolitan ini. Pertama menjejak kota ini, jiwa 'ndesoku belum cukup umur untuk gesit bereaksi atas dasar benak sendiri. Malah kalah cepat dengan selinap kebaikan pertolongan seorang Marli. Ya ... dialah, Marli, yang mengontrak jalan kehidupanku tanpa aku sempat menolak bahkan tidak ingat kapan tepatnya aku menandatangani suratan hidupku yang baru _ benak Vino membersit.

Berusaha mengusir galau, tubuh bak Jacob Black of Twilight Saga itu bergeming, menyusur parket Gracewood yang selalu berhasil merefleksikan nyaman di kakinya walau saat ini tak mampu menyamankan gejolak hatinya. Entah apa yang sekarang terjadi nun jauh di Ngawi, sepeninggal dirinya yang tergesa kembali ke metropolitan. Lari dari apa yang benaknya perkirakan akan reaksi ibunya setelah siuman. Ya, ibu pingsan, tak kuat menopang keterkejutan. Sebagaimanapun beliau bijak dan asih terhadap putranya, tapi fakta ini memang bagaikan tsunami yang serentak menenggelamkan kekuatannya.

"Aku sudah bersama Marli, ibu. Aku tak bisa menikah"
"Marli? Atasanmu?" Ibunya tak habis pikir bagaimana seseorang tidak bisa menikah karena pekerjaannya. "Tak mungkin atasanmu itu menghalangi kamu mencari kebahagiaan".
"Aku bahagia, Ibu ... aku sudah bahagia bersama Marli"
"Ibu 'ngerti kamu sangat menikmati pekerjaanmu saat ini, tapi "bahagia bersama Marli"? Ibu ga 'nangkap maksudmu"

Terlanjur mencelup jari kakinya di air es kegetiran, Vino pun terpaksa lanjut.

"Aku dan Marli saling mencintai, Bu. Kami adalah pasangan seperti layaknya yang ibu harapkan antara aku dan Kenes"

Tak pernah Vino melihat keterkejutan begitu mencekam wajah ibunya. Sepasang mata sendu yang membelalak, menyadari arti kalimat yang terucap dari bibir putranya tersayang. Dalam satu detik itu, ucapan yang senyatanya belum ia resapi betul maknanya, menyengatkan listrik yang mengejut lebih cepat bahkan dari pengertiannya. Ia kehilangan kesadarannya. Dan Vino dalam kepanikannya memutuskan kembali ke metropolitan tanpa tahu apa reaksi ibunya setelah kesadarannya menyeruak.

Dering smartphone membuyarkan pikiran Vino yang menerawang, di layarnya menyala caller ID yang sejak tadi menjadi peran utama di skenario lamunannya.

"Yeah, Marli .. whassup .." Vino berusaha menghilangkan nada unhappy di tone suaranya.
Lalu dari seberang sana, terdengar suara empuk seorang pria yang mencemaskan kekasih hatinya.


................................................






Jeda Cinta

Dentingan gitar yang dimainkannya tidak berlagu. Merambah tiap kunci tanpa membingkai suatu racikan melodi yang populer di telingaku. Dan terasa lebih sakit di hatiku, dalam keheningan di antara dia dan aku. Matanya kosong, mimiknya dingin dan keruh seperti air empang di musim hujan. Aku harap memecah bisu ini, tapi tak kuasa menguntai kata yang tepat untuk mengurai amarah yang tersirat di wajahnya. Aku duduk di lantai, bersandar pada sofa, tempat kita biasa bermesra di kala asmara masih membara. Tapi saat ini dia di sebelah sana, di kursi lain, memainkan nada menutup hati untukku. 

Walau tak pasti akan apa gerangan yang menyulut amarahnya, aku terbiasa, maksudku, terpaksa biasa, menyusun kepingan pikirannya yang selalu kubilang seperti puzzle. Aku rasa, dia tahu. Tahu tentang my red letter on the chest. Seperti dalam novel Scarlett Letter, aku telah menorehkan huruf A untuk adultery di dadaku. Aku telah menolehkan cintaku pada pria lain, bukan kusengaja, dan ini bukan pembenaran. Hanya ketidaksengajaan yang lugu, please jangan bilang aku jahat. Tak terukur pedihnya guilty feeling ini yang menyeruak di tengah perasaan cinta yang telah kadung tumbuh tidak pada tempatnya.

"Danu, please, ngomong dong, ada apa,"aku tak tahan untuk tidak membuka percakapan yang mungkin juga menjadi prakata pertengkaran. Tidak akan ada jawaban untuk kali pertama, aku sudah tahu, perlu kesabaran lebih untuk melepaskan gembok dari bibirnya. 
"Danu....!"
"Untuk apa kamu menemuiku lagi?" akhirnya keluar juga kata dari sang melankolik.
"Maksudmu?" 
"Pergi saja temui dia"
Tirai sudah dibuka, jadi dia sudah tahu. Dudukku mulai menciut, seperti para selebritis yang mengkerut di kursi pesakitan di pengadilan. Tinggal menunggu palu diketok. 

Aku dan Danu, dipertemukan oleh nasib. Waktu itu, aku berada di tengah keterpurukan keluarga. Banyak cerita sedih dalam hidupku, kejadian buruk serasa tak bosan singgah di teras rumahku. Porak porandanya keluarga membuatku kehilangan pegangan dan Danu pun datang. Kehadirannya bagaikan shelter bus di kala hujan deras mengguyur, dan satu satunya pilihan untuk sang pejalan kaki adalah menunggu di situ. Aku sebentuk pribadi rapuh yang meniti jati diri sendiri pun belum kelar. Meminjam istilah tukang kue, aku itu kue bantat. Tapi Danu menerima si kue bantat ini. Sebenarnya sungguh menyentuh hati kan, dan memang aku mengakui, banyak nilai kebaikan dalam dirinya. Di luar kenyataan jika dia sangat minim dalam verbal. 

Setahun, dua tahun, aku masih yakin aku cinta walau kata romantis tak pernah meninabobokan aku lewat telepon - telepon mesra seperti layaknya teman- temanku dengan cerita cintanya. Aku masih bisa menerima kenyataan dan menghayati peran seperti penyiar radio, yang banyak bercerita, tertawa, tapi hanya satu arah. Waktu pacaran kita lebih banyak dihabiskan di rumah, dan jangan bayangkan makan malam romantis dengan Danu berperan sebagai kokinya. Dengan setangkai mawar dan lantunan lagu Buble. Itu cuma mimpi masa abg-ku, yang sepertinya tidak akan kesampaian.    

Aku tidak mengelak dengan kekuranganku, mungkin benar yang Danu bilang. Tidak semua pria akan mudah menerima karakterku yang rapuh. Dulu, aku begitu takut kehilangan Danu, tak bisa hidup tanpanya. Aku bingung tanpa hadirnya. Tapi kini yang aku tahu, cinta bukan sekedar penerimaan. Cinta bisa jatuh begitu saja, tanpa mesti ada hitungan, penerimaan ataupun pengorbanan. Ada satu kalimat dari cerpenis yang aku kagumi, dalam salah satu cerpennya dia menulis, mencintai dengan alasan karena tak sanggup sendiri adalah salah. Oooooh, menyesal kenapa dia baru menuliskan itu sekarang, semestinya dari dulu aku tahu. 

"Jadi, apa maumu sekarang?" Aku berusaha mempersingkat episode ini, bukan karena tak tahan dengan pertengkaran, tapi karena aku terlalu takut untuk mengungkap rahasia gelapku. Menguaknya sama saja dengan meniup luka, di hatiku dan di hati Danu. 
"Kamu tega, mengkhianati kepercayaanku, Luwi," Danu meradang, "Siapa dia, kapan kalian bertemu, apa yang hebat dari dia dibanding aku???" suaranya meninggi dalam nada yang basah oleh air mata yang tak meleleh di mata.

Ingin kusudahi saja semua, tanpa banyak cerita yang menoreh lebih dalam dengan pisau khianatku. Pertunangan ini, percintaan ini, tak bisa berakhir begitu saja. Ibunya, pengidap sakit jantung, yang sudah 2 kali mengalami jatuh bangun serangan stroke. Haruskah ini menjadi serangannya yang ketiga? Calon menantu yang tak tahu diri !! Aku mengutuk pun tak guna. Beginikah realita cinta pada akhirnya? Sekelumit kisah yang berbuntut komitmen dan tanggung jawab? Sebutlah aku kekanak- kanakan, tapi cinta ini berkata begitu. Cintaku kujual tidak untuk kutukar dengan hal hebat. Hanya setitik kata yang sejukkan jiwa kerontang mampu menepis semua kebaikan hati Danu dan kepastian pertunangan ini.  Aku jahaaaaaat. Aku pengkhianaaaaat. Tapi aku cinta dan aku rela . Rela dihujat, kekasih yang tidak setia.

Ini jeda cinta, aku terbang mengambang, poised, camar yang berhenti mengepak, hanya melayang, mengikuti angin. Danu, aku tetap sayang kamu walau aku tega menyakiti kamu. Aku memang lupa, menutup pagar hatiku. Mungkin ini hanya cinta sesaat, cinta baru yang menggebu yang siapa bilang tak akan berujung di jenuh juga. Tapi ini my second lucky shot, and I wish it would be my jackpot. 

**
***

Ini cerpen published pertamaku. Silakan dibantaaaaaaiiiiii .... ^_^ ....semoga bisa dinikmati

~ the fallen angel ~