Sabtu, 03 Juli 2010

Polos Deh

Saat pagi tadi bercengkerama dengan putraku yang 9 tahun, aku iseng meminta komentarnya tentang foto landscape hasil jepretanku. Foto itu sudah kupajang sebagai wallpaper di hp.

"Nak, bagus ga niiih .... foto hasil bikinanku"

Dia memperhatikan sejenak dengan mata berbinar, lalu berekspresi seperti sedikit senyuman dan berkata agak ragu,

"Hmm.... lumayan" Lalu kabur lari seperti menghindar.

Aku tertawa dan bertanya lagi dari jauh,

"Kok lumayan sih?"

Bukannya aku ga terima, tapi merasa komentarnya sangat lucu.

"Habis aku ga tahu, membedakan foto yang bagus dan tidak" polos dia menjawab.

Tawaku berderai lagi ... aaaah anakku .. terima kasih menghadiahkan tawa di pagi ini untukku.

neat-note

Tadi ada seorang bapak muda, yang menawar harga celana olahraga hingga seharga Rp. 25,000,-. Aku bilang, barang yang itu harga mentoknya di Rp. 30.000,- setelah dipotong Rp.2500,- . Dan si bapak dengan yakinnya berkata sudah membeli celana yang sama di toko ini sebulan yang lalu dengan harga Rp. 25,000,- _ Yang jelas-jelas tidak mungkin karena belum ada kenaikan harga untuk celana ini sejak berbulan-bulan lalu, datanya pun jelas ada di purchased item. Tahukah apa yang si bapak katakan waktu kubilang harganya memang segitu. Dia dengan cepat memotong kalimatku seperti ini,

"Ada kok bon pembeliannya, cuma ga di bawa. Ya sudahlah tak apa, wajar kalau situ lupa, namanya manusia", lalu pergi dengan senyum manis.

Kalau sudah begini, aku cuma bisa terhenyak dengan kenyataan bahwa banyak orang seperti bapak ini, yang dengan keluwesan gaya bicaranya tapi mengandung muslihat dan kebohongan yang terselimuti senyum tanpa malu sedikit pun bahwa yang terucap adalah tidak benar. Dan itu hanya demi sekeping diskon yang tak seberapa dibandingkan dosanya kan. Sudah jelas- jelas yang dia ucapkan tak akan dapat menang terhadap kebenaran data tertulis di sini, tapi dia melimpahkan kata- kata yang selayaknya dia tunjukkan untuk dirinya sendiri. Kalau sekedar bilang lupa, okelah, masih sopan. Ada lagi yang setelah mati-matian bargaining tanpa sukses, berujar begini,

"Ih, pelit. Kok ga bisa ditawar"

Padahal harganya sebenernya sudah diberi potongan, cuma dia ingin lebih. Ucapan seperti itu bikin aku tuing- tuing di kepala , seperti sedang menyaksikan seekor bebek yang tiba- tiba menuding aku, "dasar bebek lo".

Yang kikir siapa, yang menggerutu siapa ... hahahahahha.

Pokoknya orang- orang itu lucu kalau tawar menawar. Humor getir bahwa karakter buruk orang langsung terlihat di saat dia terdesak keinginan.


Jumat, 06 Maret 2009

Homework from Lies

Demi ci eneng geulis tur manis, Lies tea :P, aku fokuskan lika liku otakku, beuh.., menerjemahkan apa yang menurut tangkapan mata dan hatiku detik ini, sebagai "ten things that I don't like". Pertama, aku jelaskan dulu, kebiasaan atau hal apapun yang tidak aku suka ini, bukan saja menoel, bahasa apaan tuh :p, kebiasaan dan hal- hal umum, tapi jug jug juga kebiasaan aku sendiri yang sulit aku hilangkan. Nah, apakah itu, jreng jreng :

1.  Minim disiplin diri
Paraaaaaaaaaah, dan hayoooooo ngakuu... bukan aku saja kan?? kamu juga kaaaan? :P Seandainya kita sama- sama bisa memaksakan diri sedikit saja, out of the comfort zone, perubahan dahsyat menanti, itu yakin. Tapi kok susah yah :sweatdrop: Banyak sekali hal yang dimotori disiplin ini, contoh: manajemen waktu kegiatan harian, ketepatan waktu, mengolah keuangan, dll, dan lalu lalu :P

2. Pengamen, gerombolan pengemis, pedagang yang tidak pada tempatnya
Duuh maap maap sajah, bukannya aku tidak memiliki kepekaan nurani atau solidaritas terhadap sesama, tapi toh kalo kita mau sedikit saja tarik otot dan otak, pasti ada jalan yang lebih tepat untuk mencari nafkah menurut aturan yang layak. Dan aku di sini menyebut "gerombolan" pengemis, maksudnya adalah pengemis yang terorganisir, ih engga banget deh.

3. Menghakimi dengan pikiran
Nah, yang satu ini kontrolnya hmmm ... cukup merepotkan. Aku tidak bisa melihat sesuatu tanpa tidak langsung mewacanakannya dengan pandangan subyektif dalam pikiran. Mesti belajar jadi juri dulu kali yaaaah .. heheh biar lebih objektif dan bening dalam menilai.

4. Standar higienis Indonesia ampuuuuuun deh
Bukan sok bersih dan sok Miss Clean lah, tapi please deh, coba lihat dan jujur, higieniskah kita?

5. Aturan dan hukum yang tidak jelas
Jika aturan dan hukum dalam pelaksanaannya tidak dicurangi, pasti masyarakat pun akan lebih sadar hukum dan aturan. Namun apa daya, dengan dalih kemiskinan, apapun di sini harus di"licinkan", yang berujung pada kebiasaan menggunakan "jalan pintas", "jalan belakang", apapun itulah, atau "ngeles aturan" heehehe.

6. Pendidikan yang membebani
Bukan hanya di kantong, tetapi yang paling krusial adalah membebani hati dan pikiran. Kapan yah, semua anak bisa jatuh cinta pada proses belajar sedini mungkin. Kapan semua bisa menikmati pendidikan semudah dan semenarik sinetron :P 

7. Keamanan yang bikin merinding
Temanku yang tinggal di Jepang bilang, andaikan kita berjalan tengah malam di sana memakai perhiasan emas sekilo pun, anteng anteng aja tuh. Keamanan fisik dan mental masih perlu banyak dibenahi di mari . Tahu engga? Engga. Hehehe. Aku tuh suka sebal sama pria yang suka siul- siulin wanita yang lewat. Hal kecil sih, tapi bagiku mah mengganggu dan melecehkan. Coba ya, ditahan sedikit dong naluri lelakinya !

8. Hiburan yang banyak negatifnya daripada manfaatnya
Coba kalau televisi itu dipenuhi siaran siaran seperti Travel & Living, National Geographic, dan sebangsanya, dijamin mutu, minimal coet deh ...heheeh ** yang bukan orang Sunda mah silakan bengong ajah.

9. Dicengoin 
Hahahahaa .. emang enaaaaak? Katanya, it's not hatred that ruins our world but ignorance. Bener ga sih, kali kali aja aku salah inget wise word heueheu .

10. Gak keramas lebih dari dua hari
Sakit kepala, dan waaaaaah bete dah pokonya. Mood down. Aku pernah bilang ke temenku, kalo sehabis keramas itu, cium- cium harumnya rambut rasanya hepiiiii, jadi aku kasih istilah keramas = "my quick sedative to happiness"

Yang tidak disuka masih banyak, kalo mau dibahas terus mah. Ah, tapi daripada nyebutin gituan mending mikirin yang kita suka aja toh? Better and wiser. Done, Lies ;)

P.S. Duh, ini teh kumaha carana nge tag batur? hahahaha . Tekan ikon rantai itu yah? :P bego mode on

Aturan mainnya, yang tertulis di list aku ini mesti menulis juga "10 hal yang tidak aku suka" dan juga menyertakan 10 orang berikutnya yang juga harus meneruskan permainan ini. 
Sementara, list aku ini deh, lom komplit :







Sabtu, 07 Februari 2009

The Innocent Artist


tidurlah hari ini, lepaskan lelahmu
redupkan mata lincah nan ingin tahu
it's too big world for you yet, dear
sinilah main dalam pelukku
biar kulindungi dari sang seniman takdir yang eksentrik
aman dari jari jari jahil modernisasi
nantikanlah matahari terbit esok
biaskan semangat polosmu, rinaikan tingkah kanakmu
hidup adalah seni mencipta rupa dan warna langkahmu
titian nada dalam konser nurani, akal dan jiwa
siang berendeng malam, lelah berendeng energi, seimbang
lukislah mimpi, besok besar, wujudkan hidupmu harmoni
laksana sebuah maha karya seni yang indah tuk dikenang

Selasa, 06 Januari 2009

Ruang 

Percikan indah warna warni kembang api melukis memecah indah di langit sepanjang South Banks malam itu. Mungkin jauh lebih indah dari 2000 tahun lalu di kala seorang koki di Cina tidak sengaja menciptakannya. Inilah malam momentum pergantian tahun, a new beginning, a fresh start. Aku di sini, di sudut kamarku yang temaram. Balkon jendela kamarku itu bercerita banyak tentang perayaan tahun baru ini. Sebatas ambang itulah aku mampu melihat dunia luas, hmm... correction: tidak seluas itu, hanya pemandangan sungai yang dingin di penghujung tahun. Dunia yang seringkali menciutkan hatiku daripada menaungi hidupku. Beberapa teman menyapaku dari ruang laptopku, aku menyebutnya ruang, karena aku menganggapnya begitu. Hanya di ruang itulah aku berani menapakan diri. Ruang lain selain dari persembunyian nyamanku di London Docklands apartment. 

"Happy New Year, Lika ! Come on lets hang out, get out of your room, please. We'll have fun here at my place."

Dia editorku, sekaligus temanku, Sally, mungkin termasuk segelintir teman yang benar- benar berasal dari dunia nyataku yang terdahulu. Ah... Sally, aku tahu, kamu mengkhawatirkanku. Seperti summer kemarin, kamu singgah ke sini, membawakan sebuket bunga indah yang segar. Mereka bilang, bring a little sunshine into a friend's life with a bouquet of summer flowers. Dan Sally benar- benar menyinari hariku dengan rangkaian Rosa Cettifolia jingga menyembul di antara Chrysanthemum Grandiflorum dan Dianthus Caryophyllus.

"Lika, don't you want to see those beautiful flowers growing on the riverside there? I bet you'd like it, dear!"

Aku menjawab ajakan manisnya hanya dengan senyum. Dan dia pun mengerti aku belum siap. Bunga...., Dave sering membawakan aku roses atau hanya sekedar jalan di taman, menikmati rumput dan bunga bunga menarikan The Nutcracker ballet symphony. Matahari menembus rindangnya pohon pohon,  aku selalu suka indahnya ray of light. Apalagi di senja itu, sinarnya yang lembut mengecup kakiku dan kaki Dave, sebelum akhirnya diganti bayangan gelap di terowongan taman itu. Dan ........... ufffffhh .... kenanganku melaju terlalu jauh, tanpa kendali. Peristiwa itu, kepedihan itu kembali menabuhkan genderangnya di kepalaku. Kulihat jelas Dave terkapar dan para penodong itu terus memukuli dan menendanginya. 

"Stop it... stop it.. please ...!!"

 Suaraku tak jelas antara berteriak marah, ketakutan ataukah memohon. Dan jawaban mereka adalah hantaman keras di kepalaku. Gelapnya langit terowongan itu bertambah buram dan samar. Dan semuanya beralih menjadi putih dan putih. Aku terbangun di rumah sakit, setelah koma selama sebulan akibat kebrutalan para begal di taman itu. Dan Dave, ..... Dave ... he didn't make it .. O .. God .. kembalikan aku pada komaku sajaaaaa, inginku saat itu. How can I live this world without my Dave? Tapi realitas mendorongku keras hingga aku terjerembab dan terseok menapaki hari - hariku sampai sekarang.

Hari itu aku pulang ke apartemen, sendiri, dunia menjadi abu - abu. Kuhempaskan tubuhku lunglai ke tempat tidur, berharap terbangun dari mimpi buruk. Pagi, alarmku memanggil, kubuka pintu depan apartemenku, menjemput surat kabar, rutinitas yang bisa kulakukan tanpa sukmaku harus mengumpul penuh tiap aku baru bangun pagi. Gelapnya lorong, kontras dengan silau cahaya matahari di balik daun pintu yang kusingkap. And it's all coming back to me ... ketakutan itu, sakit itu, teror itu .. jantungku dalam akselerasi tertinggi, kakiku lemas, mataku panik, otakku buntu, yang saat itu hanya mampu mengirimkan sensor perintah untuk lari kembali ke kamarku. Itu setahun lalu, tepat di pagi tahun baru. 

Di sini sekarang aku, terus menulis, di kamarku teraman, dalam ruang laptopku. Ruang hidupku. Sekali sekali aku memberanikan diri, mengintip dari balik tirai balkonku. Pemandangan terindah yang hanya bisa kutatap dari jauh. 

Footnotes: 
  • Rosa Cettifolia : bunga mawar
  • Chrysanthemum Grandiflorum  : bunga krisan; seruni
  • Dianthus Caryophyllus  : bunga anyelir
  • Ray of Light :  istilah dalam fotografi yaitu berkas sinar matahari yang sebagian tertutupi bidang, semisal awan atau pepohonan, sehingga sinarnya menyembul dari balik situ, menimbulkan kesan seperti lampu sorot
  • Agoraphobia : sindrom serangan panik jika berasa di tempat terbuka, keramaian atau di mana saja, di luar zona nyaman
  • The Nutcracker Ballet : pertunjukan tarian balet terkenal yang dimulai pada tahun 1891, dengan Tchaikovsky sebagai komposer dan dipertunjukan oleh Marius Petipa. Diadaptasi dari dongeng natal "The Nutcracker and The Mouse King" oleh E.T.A. Hoffmann


Kamis, 04 Desember 2008

Sexual in Metro

Setelan Armani, Gucci, berbaris rapi di dalam lemari bergaris art deco yang menghiasi walking closetnya. Dasinya, bergulung indah, dalam susunan gradasi warna yang entah mesti berapa lama bagi yang tak biasa untuk menyusunnya begitu rupa. Rak sepatunya, yang lebih bersih daripada lemari pakaian ibunya di desa dulu, menampilkan koleksi sepatu yang hampir tidak bisa mungkir bahwa si empunya adalah shoe fettish. Dari Nike Free, Fendi's , A classic men's Italian leather loafer, Sergio Rosi's sampai Prada shoes, you name it.

Melangkah keluar dari walking closet, tiba pemandangan pada sebidang kamar, yang memang luas, benar- benar seperti sebidang tanah yang cukup untuk ditanami padi yang menghidupi satu keluarga. Entah mengapa banyak lukisan ukiyo karya Tsukioka Yoshitoshi yang mengumbar brutalisme dan gambaran tentang mahluk- mahluk aneh ala kabuki. Mungkin aktor- aktor kabuki yang berbedak tebal, merepresentasikan imaji tentang diri. Dan kebrutalan sebagai sentuhan kegagahan yang terkesan ekstrim. Di atas ranjang pohon ek yang penuh wibawa, tertelungkup sepunggung otot telanjang hasil sculpting, bulking, cutting dan toning. Kontra dari resiknya kamar, beberapa koper LV tergeletak begitu saja di lantai, seperti enggan berdiri sendiri.

Vino, sang lelaki yang telungkup, adalah eksekutif sukses di usianya yang masih belia. Sepertinya ia tidur, tapi tidak, matanya hanya memicing. Kelelahan, itu sudah jelas, hanya saja pikirannya yang kusut menolak untuk beristirahat. Pria asal Ngawi itu, walau lidahnya sudah tak kental lagi dalam lagam jawa, baru saja kembali dari kunjungan singkatnya ke rumah ibunya tercinta.

"Aku tidak bisa, Bu!" nada Vino naik namun tertahan oleh rasa hormat yang selalu dia emban dalam hati untuk orang tuanya.
"Ibu cuma ingin kamu menunaikan apa yang sudah jadi kodrat manusia, dan ini juga demi kebahagiaanmu di hari depan, nak. Menikahlah dengan Kenes, dia sudah seperti anakku sendiri, ibu hafal tingkah polahnya dan ibu yakin dia cocok untuk mengayom dirimu, menyayangmu", selalu dengan ketegasannya yang berjubah kelembutan ibu berucap demikian.

_Oh, Ibu ... aku percaya semua hal baik yang ibu katakan tentang keluarga, pernikahan dan juga tentang Kenes. Dan bukan aku menyanggah itu semua dalam keberatanku akan perjodohan yang tak disangka ini. Jodoh, apalah jodoh itu, aku sungguh tak mengerti. Apakah dulu aku berjodoh pula dengan kebrutalan hidup di metropolitan ini. Pertama menjejak kota ini, jiwa 'ndesoku belum cukup umur untuk gesit bereaksi atas dasar benak sendiri. Malah kalah cepat dengan selinap kebaikan pertolongan seorang Marli. Ya ... dialah, Marli, yang mengontrak jalan kehidupanku tanpa aku sempat menolak bahkan tidak ingat kapan tepatnya aku menandatangani suratan hidupku yang baru _ benak Vino membersit.

Berusaha mengusir galau, tubuh bak Jacob Black of Twilight Saga itu bergeming, menyusur parket Gracewood yang selalu berhasil merefleksikan nyaman di kakinya walau saat ini tak mampu menyamankan gejolak hatinya. Entah apa yang sekarang terjadi nun jauh di Ngawi, sepeninggal dirinya yang tergesa kembali ke metropolitan. Lari dari apa yang benaknya perkirakan akan reaksi ibunya setelah siuman. Ya, ibu pingsan, tak kuat menopang keterkejutan. Sebagaimanapun beliau bijak dan asih terhadap putranya, tapi fakta ini memang bagaikan tsunami yang serentak menenggelamkan kekuatannya.

"Aku sudah bersama Marli, ibu. Aku tak bisa menikah"
"Marli? Atasanmu?" Ibunya tak habis pikir bagaimana seseorang tidak bisa menikah karena pekerjaannya. "Tak mungkin atasanmu itu menghalangi kamu mencari kebahagiaan".
"Aku bahagia, Ibu ... aku sudah bahagia bersama Marli"
"Ibu 'ngerti kamu sangat menikmati pekerjaanmu saat ini, tapi "bahagia bersama Marli"? Ibu ga 'nangkap maksudmu"

Terlanjur mencelup jari kakinya di air es kegetiran, Vino pun terpaksa lanjut.

"Aku dan Marli saling mencintai, Bu. Kami adalah pasangan seperti layaknya yang ibu harapkan antara aku dan Kenes"

Tak pernah Vino melihat keterkejutan begitu mencekam wajah ibunya. Sepasang mata sendu yang membelalak, menyadari arti kalimat yang terucap dari bibir putranya tersayang. Dalam satu detik itu, ucapan yang senyatanya belum ia resapi betul maknanya, menyengatkan listrik yang mengejut lebih cepat bahkan dari pengertiannya. Ia kehilangan kesadarannya. Dan Vino dalam kepanikannya memutuskan kembali ke metropolitan tanpa tahu apa reaksi ibunya setelah kesadarannya menyeruak.

Dering smartphone membuyarkan pikiran Vino yang menerawang, di layarnya menyala caller ID yang sejak tadi menjadi peran utama di skenario lamunannya.

"Yeah, Marli .. whassup .." Vino berusaha menghilangkan nada unhappy di tone suaranya.
Lalu dari seberang sana, terdengar suara empuk seorang pria yang mencemaskan kekasih hatinya.


................................................






Jeda Cinta

Dentingan gitar yang dimainkannya tidak berlagu. Merambah tiap kunci tanpa membingkai suatu racikan melodi yang populer di telingaku. Dan terasa lebih sakit di hatiku, dalam keheningan di antara dia dan aku. Matanya kosong, mimiknya dingin dan keruh seperti air empang di musim hujan. Aku harap memecah bisu ini, tapi tak kuasa menguntai kata yang tepat untuk mengurai amarah yang tersirat di wajahnya. Aku duduk di lantai, bersandar pada sofa, tempat kita biasa bermesra di kala asmara masih membara. Tapi saat ini dia di sebelah sana, di kursi lain, memainkan nada menutup hati untukku. 

Walau tak pasti akan apa gerangan yang menyulut amarahnya, aku terbiasa, maksudku, terpaksa biasa, menyusun kepingan pikirannya yang selalu kubilang seperti puzzle. Aku rasa, dia tahu. Tahu tentang my red letter on the chest. Seperti dalam novel Scarlett Letter, aku telah menorehkan huruf A untuk adultery di dadaku. Aku telah menolehkan cintaku pada pria lain, bukan kusengaja, dan ini bukan pembenaran. Hanya ketidaksengajaan yang lugu, please jangan bilang aku jahat. Tak terukur pedihnya guilty feeling ini yang menyeruak di tengah perasaan cinta yang telah kadung tumbuh tidak pada tempatnya.

"Danu, please, ngomong dong, ada apa,"aku tak tahan untuk tidak membuka percakapan yang mungkin juga menjadi prakata pertengkaran. Tidak akan ada jawaban untuk kali pertama, aku sudah tahu, perlu kesabaran lebih untuk melepaskan gembok dari bibirnya. 
"Danu....!"
"Untuk apa kamu menemuiku lagi?" akhirnya keluar juga kata dari sang melankolik.
"Maksudmu?" 
"Pergi saja temui dia"
Tirai sudah dibuka, jadi dia sudah tahu. Dudukku mulai menciut, seperti para selebritis yang mengkerut di kursi pesakitan di pengadilan. Tinggal menunggu palu diketok. 

Aku dan Danu, dipertemukan oleh nasib. Waktu itu, aku berada di tengah keterpurukan keluarga. Banyak cerita sedih dalam hidupku, kejadian buruk serasa tak bosan singgah di teras rumahku. Porak porandanya keluarga membuatku kehilangan pegangan dan Danu pun datang. Kehadirannya bagaikan shelter bus di kala hujan deras mengguyur, dan satu satunya pilihan untuk sang pejalan kaki adalah menunggu di situ. Aku sebentuk pribadi rapuh yang meniti jati diri sendiri pun belum kelar. Meminjam istilah tukang kue, aku itu kue bantat. Tapi Danu menerima si kue bantat ini. Sebenarnya sungguh menyentuh hati kan, dan memang aku mengakui, banyak nilai kebaikan dalam dirinya. Di luar kenyataan jika dia sangat minim dalam verbal. 

Setahun, dua tahun, aku masih yakin aku cinta walau kata romantis tak pernah meninabobokan aku lewat telepon - telepon mesra seperti layaknya teman- temanku dengan cerita cintanya. Aku masih bisa menerima kenyataan dan menghayati peran seperti penyiar radio, yang banyak bercerita, tertawa, tapi hanya satu arah. Waktu pacaran kita lebih banyak dihabiskan di rumah, dan jangan bayangkan makan malam romantis dengan Danu berperan sebagai kokinya. Dengan setangkai mawar dan lantunan lagu Buble. Itu cuma mimpi masa abg-ku, yang sepertinya tidak akan kesampaian.    

Aku tidak mengelak dengan kekuranganku, mungkin benar yang Danu bilang. Tidak semua pria akan mudah menerima karakterku yang rapuh. Dulu, aku begitu takut kehilangan Danu, tak bisa hidup tanpanya. Aku bingung tanpa hadirnya. Tapi kini yang aku tahu, cinta bukan sekedar penerimaan. Cinta bisa jatuh begitu saja, tanpa mesti ada hitungan, penerimaan ataupun pengorbanan. Ada satu kalimat dari cerpenis yang aku kagumi, dalam salah satu cerpennya dia menulis, mencintai dengan alasan karena tak sanggup sendiri adalah salah. Oooooh, menyesal kenapa dia baru menuliskan itu sekarang, semestinya dari dulu aku tahu. 

"Jadi, apa maumu sekarang?" Aku berusaha mempersingkat episode ini, bukan karena tak tahan dengan pertengkaran, tapi karena aku terlalu takut untuk mengungkap rahasia gelapku. Menguaknya sama saja dengan meniup luka, di hatiku dan di hati Danu. 
"Kamu tega, mengkhianati kepercayaanku, Luwi," Danu meradang, "Siapa dia, kapan kalian bertemu, apa yang hebat dari dia dibanding aku???" suaranya meninggi dalam nada yang basah oleh air mata yang tak meleleh di mata.

Ingin kusudahi saja semua, tanpa banyak cerita yang menoreh lebih dalam dengan pisau khianatku. Pertunangan ini, percintaan ini, tak bisa berakhir begitu saja. Ibunya, pengidap sakit jantung, yang sudah 2 kali mengalami jatuh bangun serangan stroke. Haruskah ini menjadi serangannya yang ketiga? Calon menantu yang tak tahu diri !! Aku mengutuk pun tak guna. Beginikah realita cinta pada akhirnya? Sekelumit kisah yang berbuntut komitmen dan tanggung jawab? Sebutlah aku kekanak- kanakan, tapi cinta ini berkata begitu. Cintaku kujual tidak untuk kutukar dengan hal hebat. Hanya setitik kata yang sejukkan jiwa kerontang mampu menepis semua kebaikan hati Danu dan kepastian pertunangan ini.  Aku jahaaaaaat. Aku pengkhianaaaaat. Tapi aku cinta dan aku rela . Rela dihujat, kekasih yang tidak setia.

Ini jeda cinta, aku terbang mengambang, poised, camar yang berhenti mengepak, hanya melayang, mengikuti angin. Danu, aku tetap sayang kamu walau aku tega menyakiti kamu. Aku memang lupa, menutup pagar hatiku. Mungkin ini hanya cinta sesaat, cinta baru yang menggebu yang siapa bilang tak akan berujung di jenuh juga. Tapi ini my second lucky shot, and I wish it would be my jackpot. 

**
***

Ini cerpen published pertamaku. Silakan dibantaaaaaaiiiiii .... ^_^ ....semoga bisa dinikmati

~ the fallen angel ~